Tradisi makan saprahan memiliki makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Prosesi saprahan begitu kental dengan makna filosofis, intinya menekankan pentingnya kebersamaan, keramahtamahan, kesetiakawanan sosial, serta persaudaraan. Makan nyaprah juga dapat dilakukan di rumah kita sendiri bersama keluarga, bapak, ibu, kakak, abang, atau adik-adik yang lain. Begitu juga jika kita kedatangan tamu, kita ajak dia makan bersama-sama dengan nyaprah duduk bersila di lantai.
Makan saprahan biasanya dilakukan pada saat acara perkawinan, tepung tawar, sunatan, pindah rumah, dan lain-lainnya. Lauk-pauk dalam acara makan saprahan itu sebanyak 5-6 perkara, tergantung niat dan kemampuan dari tuan rumah. Biasanya ayam 2 macam, sapi 1 macam, sayur, telur, sambal, lalap (pecel atau rujak). Dan pada setiap acara menunya bervariasi, tergantung pada keuangan dan niat dari tuan rumah, yang pastinya 4 sehat 5 sempurna (ditambah air susu).
Tradisi saprahan memang sudah ada sejak lama, akan tetapi orang-orang tidak tahu betul kapan sejarah masuknya tradisi saprahan di Kabupaten Sambas. Menurut Bapak H. Muin Ikram dan Bapak H. Aspan. S, mereka menyebutkan bahwa sejarah masuknya tradisi Saprahan di daerah Sambas di bawa oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Sambas, karena dahulunya Sambas merupakan tempat yang srategis bagi kapal-kapal yang berlayar untuk singgah dan menawarkan barang-barang.
Saprahan Sambas termasuk Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor 201901036